Selasa, 30 Juni 2015

Cara Beda Menikmati Berita


Judul buku      : Mata Najwa Mantra Layar Kaca

Penulis             : Fenty Effendy
Penerbit           : Media Indonesia Publishing
Tahun terbit     : Cetakan 1, 2015
Tebal buku      : 328 halaman
ISBN               : 978-602-96184-7-1

Penentuan kebijakan, kekuasaan, hingga polemik yang terjadi pada dunia politik masih menarik untuk dibahas. Hal ini merupakan perwujudan dari transparansi pembuat kebijakan dalam suatu negara. Politik tidak semata berurusan dengan hiruk pikuk dan gemuruh para elite, tapi kesungguhan merumuskan kebijakan publik.
Masyarakat awam tidak akan dapat menjangkau kebijakan elite hingga ke porosnya. Hanya melalui media,  informasi dapat tersalurkan hingga bersentuhan langsung dengan khalayak umum. Terlebih media televisi yang menyajikan informasi menyeluruh baik secara visual maupun auditori. Di tengah demokrasi yang begitu bising, tantangan terbesar media adalah mampu memilih dan memilah suara yang perlu digaungkan.  

Maka Mata Najwa hadir tidak hanya mengemas kumpulan cerita tokoh-tokoh politik nasional, tapi juga kisah orang-orang kecil yang kehilangan akses keadilan dan terpojok di sudut-sudut gelap kehidupan (hal.11). Menyiasati kurangnya minat masyarakat terhadap isu politik, Mata Najwa hadir dengan kemasan berbeda untuk tetap menyajikan pemberitaan tentang politik dengan kredo “Cara Beda Menikmati Berita”.
Banyak acara televisi yang bermuatan politik dikemas dengan apik. Ini menjadi persaingan tersendiri dalam dunia pertelevisian Indonesia. Persaingan ini pula yang berimbas pada masyarakat. Isu politik dalam waktu yang bersamaan disajikan dalam kemasan dan informasi yang berbeda. Perbedaan ini dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap media.
Jarang pemirsa dengan setia menyaksikan berita politik hingga akhir acara. Namun akan berbeda ketika berita yang disajikan adalah sebuah talkshow dengan kemasan menarik. Mengulas lebih mendalam isu, wacana, polemik, atau bahkan tokoh-tokoh berpengaruh secara lebih dekat. Talkshow tentang politik dianggap sebagai acara yang serius dan menjemukan, maka tak sedikit orang yang enggan menyimak.
Media tak bisa tinggal diam membiarkan isu politik terlewat begitu saja tanpa ada rekam jejak. Maka berita harus tetap dikemas dengan apik sebagaimana fungsi media yaitu alat informasi, transformasi, edukasi, dan kontrol sosial. Bagi politisi, politik hanya sekadar logika, namun bagi publik, politik adalah soal perasaan. Menjadi tugas media mengolah perasaan pemirsanya lewat tayangan-tayangan yang unik dan menarik.
Buku Mata Najwa Mantra Layar Kaca mencoba merangkum talkshow yang telah ditayangkan Mata Najwa dalam usianya yang kelima. Mulai dari show yang dianggap paling menarik hingga berhasil meraih banyak penghargaan. Show saja mungkin akan mudah dilupakan oleh pemirsa, namun ketika sudah dikemas dalam buku maka akan lebih mudah untuk diingat.
Penulis menyadari acara talkshow bermuatan politik mengandalkan seorang pemandu yang tidak sekadar bertanya, namun juga mampu menguji pertanyaan, menunjukkan ironi, serta menghadirkan fakta-fakta. Pemandu ini tidak mudah menghadapi politisi yang terbiasa menyembunyikan kejelasan.
Dalam buku ini Najwa Shihab digambarkan sebagai presenter yang serba tahu. Mampu mengorek, bahkan ‘menyentil’ para tokoh yang dihadirkan. Seperti sentilan kepada para perampok uang negara dalam catatan di akhir episode “Mafia Angka” (hal.77): Mafia angka membenarkan, semua punya ‘jasa’, mempercepat atau malah menghambat proyek dan dana, hingga jadi ‘negara dalam negara’. Lantas, apa beda Orde Baru dan Era Reformasi? Korupsi Orde Baru berlangsung di atas, atau di bawah meja, alias bagi-bagi. Korupsi Reformasi lebih biadab, karena mejanya diangkut sekalian sambil berlari.
Catatan dari 14 episode dalam buku ini memudahkan pembaca untuk terus mengikuti perkembangan politik. Merubah talkshow ke dalam tulisan tidaklah mudah, namun penulis mampu menyajikannya dengan rapi. Proses editing dilakukan seperlunya saja, hanya untuk mempertahankan nilai estetika tanpa merubah substansi pemberitaan dari layar kaca ke dalam buku. Penulis menyajikan dengan gaya bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami oleh pembaca. 
Meski berlatarbelakang talkshow politik, namun tidak disangka Mata Najwa juga mampu menghadirkan isu yang mampu menyentuh hati pemirsa. Tak lepas dari pelaku-pelaku politik baik senior ataupun wajah-wajah baru, Najwa menggiring para tamunya untuk bercerita tentang sisi lain para tokoh di luar perpolitikan. Mereka yang menginspirasi dan berpengaruh bisa bercerita dengan gamblang. Seperti saat Najwa Shihab menguak kehidupan pribadi Habibie pada episode “Separuh Jiwaku Pergi” yang tayang pada 30 Juni 2010 lalu.
Kepada Najwa, Habibie berbicara sebagai Habibie saja, tanpa berperan sebagai seorang yang pernah berkuasa ataupun menteri dengan kendali penuh terhadap industri-industri strategis Orde Baru. Malam itu ia insan biasa, namun dengan cinta yang luar biasa (hal.234).

Buku ini juga mencatat perjalanan Mata Najwa on Stage yang sudah melanglang buana hampir di seluruh pulau besar di Indonesia. Tema-tema yang disajikan juga menarik hingga mampu menyedot ribuan penonton. Seperti episode perdana di layar kaca Dunia dalam Kotak Ajaib yang mengangkat isu skandal Bank Century, Penebar Inspirasi, Masih Adakah Si Bung, hingga Merayakan Indonesia. Maka buku ini layak untuk dibaca semua kalangan baik yang berkecimpung dalam dunia politik maupun masyarakat umum. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar